Minggu, 17 Februari 2013

Sampai matiku kalian tetaplah saudaraku.

Sampai matiku kalian tetaplah saudaraku.

Belasan tahun terlalui, rentang waktu kelahiran kami memang tak terpaut begitu jauh. Hanya beberapa bulan atau beberapa tahun. Aku yang pertama di kloter ini. Lima bulan lebih tua dari kedua sepupuku yang lahir di bulan september 1993, vita dan mbak endah. Selanjutnya di tahun yang sama nita dan api menyusul, di tahun 1994 tangis mereka pecah, dan senyum orang tua kami merekah. Akhirnya menjadi ibu, akhirnya anak kedua lahir, akhirnya menjadi budhe pakdhe atau bulek paklek, akhirnya aku punya sepupu baru lagi. Beberapa bulan di tahun berikutnya, tahun 1995 giliran adit yang merasakan dunia untuk pertama kalinya. Bumi ini menyatukan kami dalam ikatan persaudaraan.
Kloter sebelum kami jaraknya terpaut hampir 6 tahun. Kakakku yang tertua, mas johan di tahun 1987 menggetarkan udara dengan tangisnya. Disusul ida dan dek anik di tahun berikutnya. Mereka adalah penjaga kami. Menuntun kami karena mereka yang lebih dulu menjejak dunia.
Kloter terakhir adalah iin dan bila. Bocah yang sekarang menjejak masa remaja. Jaga diri baik-baik ya bocah-bocah bandel. Tinggi mereka berdua malah melampauiku sekarang.

Terima kasih Tuhan telah memberikan ikatan ini pada kami. Persaudaraan ini sebisa mungkin akan kami jaga seperti orang tua kami menjaga persaudaraan mereka. Kami sebisa mungkin akan mewujudkan mimpi-mimpi mereka yang tertunda. Terima kasih untuk kasih sayang yang tak terbatas selama ini.

Sabtu, 16 Februari 2013

Membias.

Membiarkan memori ini terus berkunang. Membias dan menjadi tak jelas antara mimpi, pengharapan dan kenyataan. Menjadikannya menjadi sebuah fiksi yang dilegalisasi. Sebisa mungkin menjauhkan teriakan-teriakan untuk berhenti, menjadikannya samar, menyamarkan dengungnya.
Kuas-kuas yang catnya dibiarkan membekas, untuk menjadikannya kaku dan tak bisa diubah, pengaruh untuk tetap terus mendominasi.

Aku dan kalian

Dan kita akan kembali menyusuri langit. Biru ataupun saat senja aku tak peduli. Entah kapanpun itu aku akan tetap menunggu. Ketika keangkuhan tak lagi menjadi nomor satu dan kebersamaan menjadikan aku dan kalian selalu ingin menyatu. Tak ada dalang-dalang lain yang akan mengganggu jalan cerita kita. Lakon-lakon hanya kita yang menciptakannya, sesuka kita, sesuka imajinasi kita mau berlari kemana.
Kita tak akan takut dengan gelapnya jalan-jalan. Tak butuh obor di tangan, hanya kepercayaan untuk tetap bergandengan dan tetap percaya diantara kita. Aku yakin kita akan kembali ke awan yang sama untuk menyusuri langit yang sama.

Aku tidak tahu bagaimana caranya, kawan.

Hijau kembali lagi. Menawarkan senyum menawan yang tak lekang, hanya sementara. Seakan mengejekku perlahan. Aku yang selalu menghela napas di setiap kesempatan. Menyenangkankah kawan? belaian-belaian awan yang kau rasakan? dan teriknya sang surya dihamparan, tidakkah kau membiarkanku untuk melihatnya pula?
Langkah yang kau tinggalkan membekas di tanah merah, tak terhapus oleh amarah dan tak pernah berganti arah. Tak bisakah kakimu berhenti bergerak sejenak,menghentikan langkahmu untuk sekedar menengok ke belakang? Atau kau akan terus berjalan,meninggalkan bayang yang tak tahu caranya untuk tidak tetap mengikuti jejakmu?

aku tidak tahu bagaimana caranya kawan.