Rabu, 18 Desember 2013

Dunia memang begitu lucu

Terkadang hidup begitu lucu. Dulu ketika kau memilih menutup matamu, semua seakan baik-baik saja. Dia, mereka dan semua orang yang ada didepanmu adalah sosok-sosok yang mengagumkan, membuatmu terpana dengan segala kisah mereka, segala polah mereka, seakan mereka begitu sempurna.

Dulu ketika kau menutup matamu, dunia seakan baik-baik saja. Tak ada yang perlu kau khawatirkan kecuali kisahmu sendiri dan bagaimana kau makan esok hari. Dulu, ketika kau menutup matamu dan acuh dengan dunia di sekitarmu.

Namun "dulu" telah dihujam kata "melaju". Waktu melaju. Dan kisah tetap berlanjut.
Dan aku katakan lagi, dunia begitu lucu.

Ketika mata mulai terbuka. Semua kisah semakin terlihat nyata. Namun sekarang semuanya tidak begitu terlihat sempurna. Ada retak di kanan kiri. Bahkan ada kawat-kawat yang mencuat dari pondasi yang mereka bilang dibangun lebih dari seabad yang lalu saking lamanya.

Dan tokoh juga silih berganti. Dalam cerita yang sama dengan topik yang sama. Mungkin kau dulunya adalah tokoh utama, namun waktu berkata lain dan tanpa kau mau kau menyingkir karena Sang Sutradara berkata lain.

Ada pula dua cerita yang berbeda, dengan tema yang sama dan aku mendengar dari sisi yang berbeda. Dan ketika aku hubungkan keduanya, aku rasa intinya sama. Dunia memang begitu lucu.

Banyak hal yang menyakiti, banyak mulut yang terlalu berambisi, banyak tingkah yang tidak terprediksi. Karena inilah dunia, inilah dunia yang begitu lucu. Saking lucunya hingga akhirnya kau yang dulu menertawakannya sekarang dunialah yang menertawakanmu. Karena dunia begitu lucu dan kamu hanya cukup bersyukur untuk dunia yang begitu lucu ini.

Aku mencium bau perpecahan.

Aku mencium bau perpecahan. Disaat setiap orang mulai lelah dan merasa terbunuh oleh rutinitas. Disaat beban setinggi kepala terus menumpuk hingga tak lagi mampu ditahan. Dan ketika penat merajai ubun-ubun, membuat kepala ingin meledak dan semua orang tidak bisa menahannya, aku mulai mencium bau perpecahan.

Aku mencium bau perpecahan. Ketika kawan menjadi lawan, bahkan untuk sesuatu yang tidak benar-benar diharapkan. Ketika ucapan adalah sebuah dusta yang dipertahankan, dibenarkan dengan segala pembenaran. Ketika ingkar terungkapkan dan ikatan menjadi berantakan. Aku semakin mencium bau perpecahan.

Rutinitas, benci, ingkar, dusta, dan pisau yang menghujam dari belakang, aku mohon kalian bisa memaafkannya.

Agar aku dan kalian tak lagi mencium bau perpecahan diantara ikatan yang sudah susah payah kita pintal bersama.

Gue kangen rumah

Ini gue lagi di tengah prosesi ngerjain sanling. Gue bilang prosesi karena kalo kata gue tugas ini bener-bener sakral, selain susah jumlahnya juga banyaknya naudzubillah. Dan tiba-tiba gue stuck karena gue bahkan gak bisa nentuin poin-poin apa aja yang diketahui. Bayangin aja, setiap ngerjain soal kan pasti selalu ada poin diketahui, ditanya, dan dijawab, atau kata guru SD gue dulu itu 3D. Dan yang gue ga paham adalah kenapa bahkan untuk menentukan D yang pertama alias poin diketahui aja susahnya minta ampun.

Apa guenya aja yang terlalu odong sampe gitu aja kaga bisa, atau emang karena si materinya ini aja yang rajanya edi. Udahlah, bukan itu esensi yang pengen gue ceritain hari ini. Sebenenernya gue ga pengen bener-bener cerita, gue cuma pengen bilang "gue kangen rumah".

Iya gue kangen rumah tiba-tiba.

Tiba-tiba aja pas ngerjain soal dengan rumus seabrek kaya gini gue jadi keinget kebiasaan-kebiasaan gila gue dirumah pas gue lagi stuck ngerjain soal. Aneh, orang rumah bilang gue aneh, tapi mereka ga protes, paling cuma geleng-geleng kepala aja lalu yaudah gue bisa sesuka hati ngelakuin hal-hal absurd di rumah. Ketika gue lagi stuck ngerjain soal dan kepala gue pusing tuju keliling, gue tiba-tiba ambil helm dan gue pake selama gue ngerjain tu soal dan itu cukup ngebantu kepala gue biar tetep kenceng dan otak gue ga keluar kemana-mana selama ngerjain soal. Dan ketika tetangga gue ngeliat gue, paling dia cuma ketawa dan geleng-geleng kepala dikit, gak protes ga apa (yaiyalaahhh.. haha).

Atau gue tiba-tiba ambil ikat kepala, pokoknya apapun yang bisa ngiket kepala gue, selendang lah, selimut lah, slayer lah, hasduk pramuka gue, dasi gatau punya siapa, bahkan mitela gue juga. Yang penting otak gue ga keluar kemana-mana.

Kadang-kadang gue juga muter-muter ketempat sodara-sodara gue yang notabene tetangga gue sendiri. Yah muter-muter, gue cuma jalan masuk dalam rumah mereka tanpa duduk bahkan tanpa nyapa masuk dan keluar dari rumah sodara gue dan balik lagi ke rumah gue.

Yang paling gue suka adalah gue ngerjain semua perhitungan di lantai, yah di lantai. Bahkan bapak gue sering protes karena harus selalu ngebersihin lantai karena gue corat-coret karena gue udah keburu tepar sebelum ngebersihinnya. Untung gue ga punya inisiatif corat-coret tembok, bisa-bisa bapak gue harus ngecat tembok setiap hari.

Dan yang paling ga bisa gue lakuin disini adalah nyetel lagu sekenceng-kencengnya dan gue nyanyi teriak sekenceng-kencengnya. Karena disini bukan rumah gue, ada banyak kepentingan , dan ada banyak mulut-mulut kejam yang suka mencerca orang yang berisik, padahal orang yang berisik sedang ingin melepas penatnya.

Kapan gue pulang?
Gue dari kapan tau udah ngeliatin kalender nyari hari libur buat pulang. Dan tanggal 25 besok libur, gue pengen pulang dari tanggal 24 tapi kepentok gara-gara ada praktikum hari jum'atnya tanggal 27. Apa gue harus bolos?

Minggu, 15 Desember 2013

Tingkat akhir cooyy !!!

Umur ini sudah semakin menua. Sudah menginjak kepala dua. Tanpa terasa waktu berlalu terlalu lama. Bahkan aku tak sepenuhnya sadar, hidupku ternyata telah dirampas oleh rutinitas.

Sepertinya baru beberapa waktu yang lalu bocah ini masuk TK, merasa phobia dengan semuanya, bahkan sampai tak ingat teman sepermainannya di sekolah pertamanya itu, kecuali dua anak kembar yang notabene tetangga sebelah rumah. Dan waktu berlalu, satu tahun berlalu, merengek untuk dipindahkan karena ketakutan. Dan akhirnya terdampar di sekolah selanjutnya. SD.

Melanglang ke sawah, mencari belalang dan capung, masuk ke kali, bersepeda berkeliling kampung, bermain bola karena mengagumi tsubasa. Aku rasa masa kecilku cukup normal, belum sepenuhnya dirampas oleh si rutinitas, karena masih masa bodoh dengan nilai dan lebih memilih bermain hingga badan gosong karena dibakar matahari.

Dulu ketika SD aku berfikir, SMP itu pasti menakutkan. Dan tiba-tiba tak terasa aku sudah duduk di bangku SMP dan berfikir bahwa SMA pastilah lebih menakutkan. Nyatanya tanpa terasa, karena rutinitas yang sama setiap harinya, tiba-tiba besoknya aku sudah berada di jenjang yang berbeda.

Lalu, sekarang?
Sudah kuliah, sudah tingkat akhir malah. Padahal sepertinya baru beberapa waktu yang lalu aku masih menatap wajah bapak ibuku sebelum merantau ke kota hujan ini.
Mau dikata apa lagi, tiga tahun ternyata sudah terlalui, dengan IPK yang terus-terusan terjun payung dari IPK awal. Semoga di tahun terakhir ini bisa semakin membaik, lancar menjalankan segala kegiatan dan mendapatkan kebiasaan-kebiasaan yang baik.

Di tingkat akhir ini aku harap semuanya berjalan dengan lancar. Aku dan teman-teman SIL 47 bisa menyelesaikan skripsi kami dengan baik dan mendapatkan ilmu yang berguna nantinya untuk pekerjaan kami nantinya. Dan aku harap kami bisa lulus tepat waktu, membanggakan orang tua kami, dan membanggakan almamater kami.

Amin.

Kau, cobalah belajar untuk mendengar.

Kau, cobalah belajar untuk mendengar. Sebagai orang baru tak pantas untukmu memaksakan kehendakmu sendiri. Kau terlalu idealis atau apa juga aku tak peduli. Tapi kalau kau memang benar-benar idealis, aku kecewa denganmu. Si idealis tidak memaksakan kehendaknya seperti itu, si idealis harusnya mempelajari lingkungannya, bukan untuk memaksa, tapi untuk memahami dan membuat mereka mengerti.

Mungkin caramu tak sama dengan cara kami, tapi itu bukan berarti menjadi alasan untukmu untuk mengubah cara kami menjadi cara yang kau mau. Kau yang orang baru, tetapi malah kenapa kau yang mencoba memaksakan kehendakmu. Harusnya kaulah yang harus membaur dengan kami, mempelajari lingkungan kami, membuatmu mengerti kenapa kami seperti ini, membuatmu diterima dengan baik-baik disini, bukan malah mencari musuh dengan sikap seolah kau ini yang paling benar.

Kau, kau sebaiknya belajar untuk mendengar agar kau didengarkan. Kau sebaiknya belajar menghargai agar kau dihargai. Kau sebaiknya belajar untuk mencoba mengerti untuk bisa dimengerti.
Semakin kau paksa, orang akan semakin malas denganmu.

Berjalanlah kawan.

Tidak, tidak ada yang remeh. Berjalanlah. Langkahkan kakimu kemanapun kau mau. Kadang kau memang harus berjalan sendiri. Kadang kakimu sendirilah yang membawamu ke tempat yang menentramkan jiwamu, bukan karena mereka atau siapapun.

Kau tidak harus memaksakan tawa, tidak harus merubah warnamu seperti warna mereka. Kau hanya perlu menjadi kau, dirimu sendiri.

Kau tidak perlu terus-terusan mencecar untuk sesuatu yang tidak kau suka, terkadang kau hanya perlu menerima. Karena terkadang bertoleransi untuk mendengarkan lagu yang tidak kau suka tidak melulu buruk, kau bahkan bisa mencoba menyukainya dengan caramu sendiri.

Kadangkala kau memang butuh seseorang untuk membuatmu ada, tapi bahkan tanpa mereka kau masih tetap ada. Kau ada karena dirimu menganggap dirimu ada. Itu saja cukup dan kau bebas berlari semaumu di tamanmu sendiri. Menggumpalkan awan yang akan menghujani tanahmu sendiri, menumbuhkan bungamu sendiri, pohonmu sendiri yang bisa kau tata sesuka hati dengan lanskap yang kau rencanakan sendiri.

Lalu aku akan bergabung bersamamu, aku dengan caraku sendiri dan kau dengan caramu sendiri.
Mungkin memang kita dulunya adalah jiwa-jiwa yang mati. Tapi bukan berarti kita tidak bisa hidup lagi. Dan semua kenangan buruk akan masa lalu, aku harap kita mampu melupakannya, menguburnya. Menjadikannya pupuk untuk menumbuhkan hal-hal baru yang lebih menyenangkan, memberikan kita esensi bahwa hidup akan lebih indah lagi dengan pelajaran yang kita dapat darinya, dari keburukannya.

Dan bukan berarti kita lupa untuk berkaca, menjadi tahu diri untuk apa yang telah mereka berikan kepada kita. Bahwa meskipun kita sendiri dengan cara kita sendiri, ada orang-orang disana yang menerima cara kita, dengan sengaja ataupun tak sengaja. Menerima kita apa adanya, seperti kita menerima mereka apa adanya.

Jumat, 06 Desember 2013

Ingkar

ingkar melingkari, mengingkari
dan nafasnya mulai terjebak dalam aliensi
tercekat, terdebat oleh preferensi
gegar di kepala, gentar menjalar di dada
sejauh mana kau bisa menjadi sosok keras kepala
sekitar mulai bertanya
apakah lisanmu nyata?
apakah hanya hiasan sementara?
dalam pikir mereka ucapmu sudah tak bisa dipercaya
terlalu hampa, terlalu mengada-ada
kau yang melingkari ingkar
kau yang mengingkari sekitar
kau yang menjadikan percayanya memudar
kau yang menjadikan janji menjadi kelakar
humor yang layak dibakar,
ditinggal hingga meninggal.

Lagi ngobrol sama phil.

Hai phil, tidakkah kau rindu pada saudaramu lil?
Sudah lama kalian tidak bertemu, apakah dia masih seperti dulu adanya? Mungkin dia menjadi lebih dewasa, lebih bijak dari biasa. Mungkin dia telah menjelajah dunia yang dulu diidamkannya.

Catatanmu darinya menghilang bukan berarti kau menghilangkannya dari hidupmu. Saudara tetaplah saudara. Sahabat tetaplah sahabat. Walau bertahun kau tak berjumpa, tak bertukar sapa, tetap saja dia adalah dia adanya.

Terkadang kau ingin meneriakkan namanya, mendengar suaranya, mendengar ceritanya, bernyanyi bersamanya. Tapi ada yang menghalangimu. Kau takut ada yang berubah, kau takut dia menganggapmu berubah. Kau takut dia tak lagi mendengarkanmu ketika kau membagi keluh kesah. Kau hanya takut dan tiba-tiba hingga bertahun-tahun kalian tak lagi berbagi kabar dan dia semakin tersamar.

Kau ingin menyapanya tapi kau ragu, apa dia akan menjawabmu seperti dulu dia menjawab segala bincangan tak pentingmu. Sekali dua kali kau coba, seakan orang yang berbeda yang menanggapimu. Seakan ketus, dan menganggapmu orang asing. Atau itu hanya bayanganmu saja?

Kau phil, walau kau tak pernah berjumpa dengannya, walau kau tak lagi mendengar suaranya. Jangan pernah lupa, dia dulu adalah orang yang selalu menghargaimu, dan kau pun menghargainya. Dia orang yang kau kagumi setengah mati, yang memberimu inspirasi, yang mengajarimu bermimpi alih-laih terus-terusan membual setiap hari. Dia yang mengajarimu berfikir lebih logis, menumbuhkan bakatmu yang malah kau matikan sendiri sekarang.

Dia saudaramu. Sahabatmu.

#Edisi ngomong sama boneka kura-kura