Rabu, 31 Juli 2013

Di suatu sore..

Di suatu sore ketika saya pulang dari tempat praktik lapang, saya melihat ada sebuah keluarga yang berjalan di depan rumah kos-kosan saya di malang. Seorang ayah, seorang ibu dan seorang anak perempuannya. Kala itu hujan turun rintik-rintik, hanya gerimis yang membesar perlahan ketika matahari setengah hati menyinari. Tapi tetap saja, ini malang, dingin.
Sang ayah membuka payung yang dia bawa, tak terlalu besar, hanya cukup untuk dua orang saja. Dan sang ayah mengalah, membiarkan payung tersebut digunakan anak dan istrinya. Dengan tangan yang masih menggandeng tangan anak perempuannya dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang bungkusan plastik, dia tetap berjalan beriringan dalam hujan.
Hingga hujan akhirnya mengalah dan berhenti dan sang matahari datang lagi walau masih setengah hati. Sang ayah menutup payungnya lagi dan membawa payung tersebut.
Bahkan dia masih mau membawanya ketika dia sama sekali tidak memakainya. Karena dia seorang ayah dan dia seseorang yang harus melindungi keluarganya.

Begitulah hidup, memang harus ada yang dipercaya untuk melindungi keluarga dan itu tugas ayah. Tak peduli seberapa berat hidupnya, seberapa berat pekerjaannya, dia telah diberi tanggungjawab yang begitu besar. Namun sekarang banyak tokoh ayah yang bahkan malah tak bisa diandalkan sama sekali. Pergi meninggalkan istri dan anaknya hanya untuk kepuasan pribadinya, hanya untuk bersenang-senang dengan alasan pekerjaan sedang anak dan istrinya merindukan kehadiran sosok ayah dalam hidupnya.
Hidup memang begitu aneh. Di sisi lain ada manusia-manusia yang begitu baik, di sisi lainnya lagi semua orang terlihat begitu buruk, begitu busuk.

Kamis, 25 Juli 2013

Dia tak tahu dia berdegup untuk siapa.

Dia tak tahu dia berdegup untuk siapa. Setiap kali memandang awan matanya mulai  berair, dia mulai menangis. Ada kerinduan disana, dimana disetiap detik yang dimilikinya terasa kosong. Hampa, tanpa kawan tanpa lawan. Tidak ada yang membuatnya tertarik dengan dunia, tapi dia ingin tetap merasa dunia. Bagaimana dia merasakan jenaka, merasa tawa yang nyata, bukan palsu yang dipaksakan. Degup yang dimilikinya seperti hanya hiasan belaka. Ada dan membuatnya bernyawa, tapi tidak membuatnya merasakan hidupnya, tidak membuatnya merasakan hal yang nyata.

Dia tak tahu dia berdegup untuk siapa.

Akhirnya BAB EMPAAATTT !!!!!



Akhirnya setelah berkutat sekian lama dengan laptop pinjaman dari mama ini, sampai juga di bab empat :'(
Jenuh, penat, dan bosannya setengah mati harus mengerjakan laporan PL ini. Sampai-sampai harus melarikan diri ke pos pantau spillway cuma buat ngerasain angin yang super duper kenceng itu, biar bosennya kebawa angin :'(
Istirahat dulu !!!

Data mana data ??? ke wlingi kapan ke wlingi? Saya butuh dataaaa !!!!!

Senin, 15 Juli 2013

Salah Satu Siklus

Aku terpaku dalam siklus yang terbiasa terjadi, yang tak tahu kenapa sejak dulu jadi kepercayaan hati. Seperti aku dengan angin, aku dengan pantai, aku dengan darmaga sore itu, aku dengan awan dan langit. Aku menyukai hal-hal itu, aku menyukainya aku menikmatinya. Menghabiskan berjam-jam di jalan dengan sepeda atau dengan motor pinjaman hanya untuk berputar-putar merasakan angin, mengejar awan yang sama, mengelilingi jalan dengan pikiran yang dibuat hampa, aku menikmatinya. Seperti ketika aku terhenti di darmaga pantai sore itu, terdiam mendengar hembusan angin menyapa, menceritakan tentang kisahnya tentang sepinya dirinya hanya bersanding dengan laut. Terdiam berjam-jam, mendengarkan ombak yang sedang bermain-main dengan angin, berderu riuh, aku ingin turut serta, tapi apa daya aku hanya mampu memandang laut tanpa berani masuk ke dalamnya.

Menatap awan pun, begitu menyenangkan. Bentuk-bentuk tak terduga yang tercipta, ruang-ruang hampa yang memperlihatkan langit yang biru. Atau malah gumpalan hitam yang begitu menyeramkan, apa kau ingin mengamuk awan? Melihat awan seperti sedang menautkan hati dalam imajinasi, menjadi apa yang ingin aku lihat, dengan persepsiku sendiri dengan bentuk-bentuk mereka sendiri, dilebur dalam imajinasi.

Dan aku terus mengulanginya selagi bisa, berjalan sambil melihat langit, bersepeda dengan melihat langit, adu balap cepat dengan angin walau akhirnya aku yang selalu mengikutinya. Dan hampir selalu berakhir di pantai, di darmaga, dimana aku bisa melihat laut dan merasa angin bernyanyi, disitulah aku, disitulah ketenanganku. Salah satu siklus yang tak bisa diindahkan, tak bisa diabaikan, karena telah begitu terbiasa menikmatinya.

Minggu, 14 Juli 2013

Argghhhh !!!!

Menjadikannya lengkung-lengkung berapi, menjadi-jadi menjadi jari-jari yang menautkan hari-hari yang sepi. Berlari lagi, berlari-lari di lembah yang menghampa, yang menginginkan cahaya menghamba. Meninggalkan mentari yang tak mau ikut berpartisipasi, biar gelap yang menemani.

Arrggghh. Random ini menyeretku dalam lubang yang tak ku kenali. Berputar-putar dalam pijakan yang sama, berputar-putar dan ketika aku menengok ke bawah semua masih terlihat sama. Ketika aku menengok ke depan, ke belakang, ke samping kanan dan kiri, semuanya masih sama saja. Namun ketika putaran itu terhenti dan aku melangkahkan satu kakiku tanah memerah, awan merekah, datang terpisah-pisah, dunia ini ternyata telah berubah. Aku merasa bodoh, terpaku pada satu titik dimana aku diputar-putar dengan berbagai macam stigma dan paradigma hampa.