Ketika guru tak lagi wibawa dan murid mulai meremehkan
ilmu serasa dicekam dalam kesombongan
karena bocah-bocah yang tak mau mendengarkan
karena anak muda terlampau sering merendahkan
Nasihat lenyap ditelan zaman
lenyap dalam gempita kebebasan
dalam bebasnya kegelapan
pesan moral diredam dengan tindakan amoral
apa kita bangga dengan generasi ini yang semakin mebinal
yang melupakan agama karena kegiatan diurnal
yang mengacuhkan salam dengan alasan tidak kenal
yang merusak dirinya sendiri dengan alasan mengglobal
apa kita senang melihat generasi yang dirusak perlahan
dengan alibi pergaulan
merebut hak orang-orang di jalan
dan melalaikan kewajiban di tangan
ada perubahan jika ada keinginan kawan
tak apalah perlahan asal menerus dilakukan
memperbaiki kelakuan untuk memperlakukan
memperbaiki pendidikan yang menjadi dasar pengetahuan
untuk pondasi yang lebih kokoh di masa mendatang
(Cindhy Ade Hapsari, Ketika guru tak lagi wibawa)
"Temannya miskin itu bodoh"
Benar sekali bukan kalimat diatas. Berkali-kali saya mendengar kalimat tersebut selama kuliah dan hampir semua dosen yang saya hormati mengatakan hal tersebut. Tidak bisa dipungkiri memang, lihat saja sekitar kalian, sebagian besar orang miskin adalah orang yang pendidikannya kurang.
Namun sebenarnya parameter bodoh atau tidaknya seseorang itu bukan dari tingkat pendidikan orang-orang tersebut. Tapi dari keinginan belajar, seberapa rajin seseorang, seberapa tingkat keingintahuannya dan seberapa berani orang tersebut untuk mencoba ilmu yang dia punya. Toh, tidak semua orang yang tidak sekolah itu kere, ada pula yang sukses dengan usaha keras dan keinginan mereka untuk belajar walaupun tidak secara formal duduk di bangku pendidikan. Namun sekarang yang akan saya bahas bukanlah siapa yang bodoh dan siapa yang pintar, toh jaman sekarang banyak mahasiswa yang hanya duduk dan tertidur tanpa tahu bidang ilmunya sendiri. Yang hanya datang dan absen, hanya datang dan mengobrol di belakang, hanya datang dan numpang internetan dengan wifi kampus dan banyak "hanya-hanya" yang lainnya.
Guru, digugu lan ditiru. Buat kalian yang orang-orang jawa, saya yakin pasti kalian paham dengan kalimat ini. Digugu artinya didengarkan dan ditiru artinya ya ditiru atau dicontoh. Yah, buat saya guru itu adalah teladan yang setiap kata yang dia ucapkan merupakan nasihat yang harus didengarkan dan diamalkan serta perbuatannya, tingkah laku dan kelakuannya patut dicontoh dan diteladani. Guru itu adalah penyemangat, pengobar imajinasi, kompor yang selalu memanasi diri kita untuk terus dan terus belajar. Guru itu adalah orang yang membuka mata kita tentang dunia dan membuat dunia itu menjadi menarik sehingga kita haus akan ilmu dan informasi dan kita akan terus menggali dan menggali sampai kita tahu pasti, ibaratnya itu gurulah yang memberi kita kail agar kita bisa mendapatkan ikan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Guru itu adalah orang yang membantu kita menyulam mimpi yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuka jalan kita walaupun hanya dengan restu dan doanya. Karena saya yakin guru yang benar-benar guru, pengajar yang benar-benar pengajar adalah orang yang tidak mau melihat anak didiknya bodoh, tidak mau melihat anak didiknya tidak mengerti apa yang beliau ajarkan, tidak mau melihat anak didiknya tidak sukses. Guru selalu berdoa untuk kebaikan anak didiknya.
Tapi guru versi saya, pengajar yang seperti saya sebutkan diatas adalah salah satu jenis manusia yang langka. Dari saya SD sampai sekarang saya ada di tingkat tiga di sebuah perguruan tinggi di kota hujan, hanya beberapa pengajar dari semua pengajar yang pernah mengajar saya yang seperti kriteria diatas, bisa dihitung jari sepertinya. Dalam kasus saya ini malahan semakin tinggi tingkat pendidikannya kualitas pengajarnya juga semakin asal-asalan, atau mungkin karena kurikulum yang terus-terusan berubah? Dulu ketika SD ketika pendidikan masih agak konservatif dan buku menjadi pegangan, sepertinya guru-guru benar-benar benar dalam mengajarnya, mengulang berkali-kali dengan melakukan mencongak dan ulangan (ujian) agar si murid ingat betul apa yang telah mereka berikan agar ilmu si murid tidak luntur perlahan, agar yang dasar tetap mendasar dan diingat-ingat sampai mengakar. Namun semakin kesini saya sebagai murid serasa semakin diabaikan, dengan embel-embel "Student Learning Center" beberapa pengajar tidak bertanggung jawab dengan seenak hatinya mengabaikan hak-hak yang harusnya didapatkan oleh anak didiknya. Korupsi waktu adalah salah satu contohnya, menyuruh anak didiknya belajar sendiri tanpa melakukan "pembimbingan agar tetap terarah" namun sendirinya tak tahu kemana, meninggalkan anak didiknya begitu saja.
Bicara tentang kekurangan ataupun kelemahan memang tidak ada habisnya. Tapi kalau kekurangan tidak diungkapkan maka tidak akan ada perubahan. Kekurangan diungkap dengan harapan kekurangan tersebut bisa diperbaiki agar sistem belajar mengajar pun semakin mencerdaskan anak bangsa. Bicara lagi tentang korupsi waktu, saya sendiri pernah dalam beberapa tahun belakangan ini (bahkan semester inipun saya merasakan) mempunyai seorang pengajar atau dosen yang mengakhiri durasi mengajarnya di setiap minggu. Tidak tanggung-tanggung, mata kuliah dengan 3 sks dengan 2 jam kuliah dan 3 jam praktikum direduksi menjadi 1-1,5 jam kuliah dan 30 menit praktikum. Penghamburan uang kalau saya bilang, padahal kami sudah bayar mahal-mahal untuk 5 jam per minggunya tapi yang didapat hanya 2 jam perminggu dan itupun dengan ilmu yang saya anggap sangat cetek dan sebagian besar mahasiswa tidak memahaminya karena sibuk dengan urusannya sendiri.
Nah, sebenarnya soal korupsi waktu itu bukan sepenuhnya salah sang pengajar. Kalau yang diajar mau protes dan mau meminta jatah yang harusnya mereka dapatkan mungkin saja sang pengajar mau memberikannya. Namun, sepertinya mahasiswa jaman sekarang boleh dibilang lebih suka pulang lebih cepat atau kuliah dengan durasi yang pendek daripada harus terus-terusan duduk di ruang kuliah. Toh sebagian besar dari mahasiswa termasuk saya lebih memilih untuk melakukan kegiatan lain ketika dosen dianggap tidak menyenangkan dan cara pengajarnya tidak menarik minat untuk memperhatikannya sedang menyampaikan materinya, semenarik apapun materinya itu.
Mental mahasiswa sepertinya semakin rusak. Mungkin karena tidak ada yang meluruskan dan mengarahkan menjadi baik karena dianggap sudah dewasa. Padahal? Masih labil dan butuh banyak nasihat dan bimbingan. Nah, kekurangan yang lain dari pengajar-pengajar jaman sekarang (walaupun tidak semuanya) adalah tidak disiplin, ragu-ragu dan tidak memberikan contoh dan nasihat yang baik kepada anak didiknya. Padahal kalau saya, suka kalau diajar oleh dosen yang disiplin, tak peduli seberapa galak beliau. Dosen disiplin adalah panutan yang baik kalau saya bilang, disiplin tidak pandang bulu, yang salah dibilang salah dan yang benar dibilang benar tak peduli dia itu anak presiden atau anak tukang becak. Kemudian, ragu-ragu disini adalah ketika sang pengajar tidak yakin akan jawabanya dan tidak tegas akan keputusannya sehingga anak didinya menjadi tidak yakin pula akan jawaban-jawabannya sehingga si anak didik pun menjadi tidak percaya dan meremehkan sang pengajar. Selain itu, beberapa pengajar ada pula yang membiarkan saja anak didiknya berlaku seenak jidat mereka ketika kuliah sedang berlangsung. Yah, kurang tegas lagi-lagi.
Pernah pula saya temui, karena kekurangan pengajar mata kuliah yang seharusnya bukan bidang dari sang pengajar malah dia yang mengajari. Kalau si pengajar sanggup untuk memahami dan menyampaikan materinya ke anak didiknya sih tidak jadi masalah, tapi disini kasusnya si pengajar kurang paham sehingga anak didiknya pun semakin tidak paham dan lagi-lagi kuliah selesai sebelum waktunya tanpa ilmu yang menyangkut di kepala, sia-sia.
Sebenarnya ketika seorang contoh atau teladan (sebut saja disini pengajar) memberikan contoh yang baik, disipllin dan tidak meremehkan ilmu serta tegas dalam mengambil keputusan, anak didiknya pasti mencontohnya. Ibaratnya kalau si dosen ngaret mahasiswanya juga ikut ngaret. Namun ketika si dosen benar-benar tepat waktu bahkan tidak memberikan toleransi keterlambatan si mahasiswa mau tidak mau harus mengikuti kedisiplinan si dosen agar bisa mengikuti kuliah. Dan kalau dosen yang mengajar disiplin dan tegas suasana kuliah juga cenderung kondusif dan tertib, dan mahasiswa jadi bisa mendengarkan dengan jelas materi yang disampaikan tanpa hadirnya bisikan dari teman di kanan kirinya.
Kesimpulannya disini, ketika perilaku pengajar membaik (red-semakin disiplin) maka perilaku anak didik juga akan membaik (red-semakin disiplin). Harapannya kedepan semoga pengajar-pengajar di Indonesia semakin disiplin, tegas, tidak ragu-ragu dan mengajar dengan ikhlas sampai anak didiknya benar-benar paham serta bisa mengajak anak didiknya agar selalu haus akan ilmu pengetahuan sehingga akan terus belajar dan belajar dari apapun disekitarnya. Harapan lainnya pengajar harus terus semangat dan menyemangati anak didiknya, dan menyadarkan anak didiknya bahwa ilmu itu penting dan tetap mengarahkan anak didiknya agar tidak salah arah.
Semangat untuk pengajar-pengajar di Indonesia
Pondasi terkokoh bangsa ada di tangan kalian
teruslah memperbaiki diri sendiri untuk memperbaiki orang-orang lain
sebagai orang yang mengerti, sebagai orang yang memahami
dan dengan hati ikhlas
membangun pondasi negeri