Aku terpaku dalam siklus yang terbiasa terjadi, yang tak tahu kenapa
sejak dulu jadi kepercayaan hati. Seperti aku dengan angin, aku dengan
pantai, aku dengan darmaga sore itu, aku dengan awan dan langit. Aku
menyukai hal-hal itu, aku menyukainya aku menikmatinya. Menghabiskan
berjam-jam di jalan dengan sepeda atau dengan motor pinjaman hanya untuk
berputar-putar merasakan angin, mengejar awan yang sama, mengelilingi
jalan dengan pikiran yang dibuat hampa, aku menikmatinya. Seperti ketika
aku terhenti di darmaga pantai sore itu, terdiam mendengar hembusan
angin menyapa, menceritakan tentang kisahnya tentang sepinya dirinya
hanya bersanding dengan laut. Terdiam berjam-jam, mendengarkan ombak
yang sedang bermain-main dengan angin, berderu riuh, aku ingin turut
serta, tapi apa daya aku hanya mampu memandang laut tanpa berani masuk
ke dalamnya.
Menatap awan pun, begitu menyenangkan. Bentuk-bentuk
tak terduga yang tercipta, ruang-ruang hampa yang memperlihatkan langit
yang biru. Atau malah gumpalan hitam yang begitu menyeramkan, apa kau
ingin mengamuk awan? Melihat awan seperti sedang menautkan hati dalam
imajinasi, menjadi apa yang ingin aku lihat, dengan persepsiku sendiri
dengan bentuk-bentuk mereka sendiri, dilebur dalam imajinasi.
Dan
aku terus mengulanginya selagi bisa, berjalan sambil melihat langit,
bersepeda dengan melihat langit, adu balap cepat dengan angin walau
akhirnya aku yang selalu mengikutinya. Dan hampir selalu berakhir di
pantai, di darmaga, dimana aku bisa melihat laut dan merasa angin
bernyanyi, disitulah aku, disitulah ketenanganku. Salah satu siklus yang
tak bisa diindahkan, tak bisa diabaikan, karena telah begitu terbiasa
menikmatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar