Kertas yang dulu tertata rapi kini tercompang-camping kembali. Dengan alasan mencari, menelusur setiap tumpukan, frasa-frasa itu berhasil memporak-porandakan. Apa yang harusnya berjajar, berbaris dengan jeda yang sama, kini menjadi buih dimana-mana. Dia yang dulu adalah paragraf gembira sekarang menjadi tanda tanya, tidak ada artinya. Dan dia yang dulu bersuka menjadi terluka karena terlalu banyak duka yang diluapkan ke permukaan. Di jalan, di tumpukan daun yang berserakan.
Aku tak tahu apa yang sedang aku tulis saat ini, jari-jari ini menuntun tuts-tuts ini untuk tetap tertekan dan membulirkan kata-kata. Yang aku sendiri tak tahu apa maknanya, yang aku sendiri tak tahu apa kaitannya. Terlihat rapi dengan satu spasi. Tapi apa pula ini semua kalau tidak ada maknanya. Sia-sia? Biarlah walau sia-sia. Biar saja. Biar saja jika tak ada yang mau membacanya. Aku saja cukup.
Backspace, delete selalu jadi andalan untuk melupakan. Menulis sebanyak-banyaknya lalu dengan mudahnya memblok semuanya dan menekan si backspace atau delete. Kembali ke spasi yang dulu, dimana layar ini masih kosong, halaman ini masih belum terketikkan kata-kata.
Hey, tiba-tiba saja aku teringat mesin tik jaman dulu. Kau harus menekannya kuat-kuat untuk bisa mencetak kata yang kau ingin tulis dengan rapi. Kau bahkan butuh pita karbon untuk merefleksikan pikiranmu dalam kata-kata itu. Dan kau tak bisa menghapusnya kecuali dengan cairan tipe-ex yang bekasnya sangat-sangat jelek atau kau bisa meremas-remas kertasnya lalu membuatnya teronggok di tong sampah. Beda sekali dengan sekarang. Digital didepanmu yang bisa dihapus kapan saja, yang bisa kau simpan dimana saja, bahkan kau bisa menyimpannya di awan. Keren sekali bukan?
Digital, maya, mungkin beberapa puluh tahun lagi kau benar-benar bisa melakukan teleportasi. Asyik sekali bukan? Tanpa perlu Doraemon, tanpa perlu menghafal mantera yang menyakitkan kau bisa pergi kemanapun yang kau inginkan. Enak sekali buat para koruptor untuk kabur. Tak perlu repot-repot buru-buru naik pesawat ke luar negeri sebelum kasusnya diungkit lagi. Tak perlu berpura-pura sakit untuk menghindari pemeriksaan polisi. Tinggal "blup" dan keberadaannya tidak diketahui. Bisa saja dia di puncak gunung rinjani atau malah berlibur di pulau hawai, ke mauna loa buat ngecek bagaimana keadaan bumi.
Haahh... sepertinya aku perlu mencuci sepatu. Sudah bau sekali mereka sepertinya. Maaf jika aku tidak suka pakai kaos kaki. Geli. Kalo tidak terpaksa ya tidak dipakai.
Tiga tahun di kampus ini aku baru tahu kalau kampus ini punya penangkaran primata. Keren coy, walaupun belum pernah masuk kesana langsung, dan tadi siang hampir masuk tapi gak jadi. Tapi dengar cerita dari pak satpamnya sepertinya kece sekali. Walaupun mendengar cerita pak satpam, tapi mata mengarah ke pohon rambutan yang buahnya merah-merah siap untuk dipetik. Dan endingnya bareng beberapa anak SIL malah minta rambutan ketika bapaknya belum beres cerita.
Sampah ya? iya sampah banget. Biar lah. Biarin aja. Jarang-jarang nyampah.
Oh ya, setiap aku mau cerita pasti gak pernah jadi menarik. Kenapa ya? ada saran? ada solusi? Gara-gara itu makanya salah satu hal yang paling-paling-paling tidak aku sukai adalah menceritakan kembali, menceritakan pengalaman, atau bahkan menceritakan kronologis. Tolong gueee...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar