Dia datang
lagi, manusia itu… manusia yang aku benci dan paling aku hindari selama ini.
Manusia yang jika hanya melirik wajahnya saja sudah membuat kepalaku pening tak
karuan. Manusia yang ketika aku mendengar suaranya entah itu sengaja maupun tak
sengaja, langsung membuat aku menggigil ketakutan. Iya.. dia manusia itu.
Manusia yang dengan tangan berototnya memukuli orang yang aku sayangi.
Manusia yang dengan ringan dan senang
hati melayangkan pukulan dan sumpah serapahnya. Manusia yang akan aku benci
seumur hidupku. Manusia yang mengambil nyawa adikku dengan kedua tangannya itu.
Manusia biadab itu.
Saat itu umurku
menginjak delapan tahun, dan adikku, adik laki-lakiku yang bernama Arka baru
menikmati umurnya yang keenam dua hari sebelum kejadian itu. Awan-awan
menggumpal menghitam seakan tak sabar menumpahkan butir-butir hujan yang selama
ini dia simpan. Sepertinya awan-awan itu tahu sesuatu yang tidak menyenangkan
akan terjadi, tapi aku dan Arka serta kedua orang tua kami sama sekali tidak
tahu tentang takdir yang disiapkan oleh Tuhan. Takdir yang menuliskan bahwa
anak berumur enam tahun yang akan memasuki
Sekolah Dasarnya yang pertama kali bulan depan ini akan meniggalkan kami
semua, meninggalkan kami di dunia.
Aku, arka dan
orang tua kami tidak tahu kalau orang itu datang ke rumah kami. Siang itu aku
dan Arka sedang bermain bersama anak-anak lainnya di halaman depan rumah kami,
karena halaman rumah kami paling luas dibandingkan halaman rumah
tetangga-tetangga kami. Orang itu, manusia Bengal itu adalah pamanku. Aku ingat
betul, dia memakai kemeja kotak-kotak berwarna coklat dengan celana jins warna
biru. Saat dia datang ke rumah kami raut wajahnya sangat menyedihkan,
sepertinya dia sedang banyak masalah. Aku dan Arka cuma menyapanya sebentar kemudian
kembali bermain lagi dengan anak-anak tetangga rumah. Saat itu sepertinya aku
ingin memeluk Arka erat-erat, aku tidak tahu kenapa sepertinya aku punya
firasat kalau dia akan pergi jauh.
Hari mulai
sore. Matahari mulai menyerahkan singgasananya pada sang Senja. Langitpun
memerah, dan anak-anak yang bermain mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Aku
masuk duluan ke dalam rumah, sedang Arka membereskan mainannya yang berantakan
di halaman rumah. Aku ke dapur mengambil minum, baru satu teguk air putih dingin
memasuki kerongkonganku tiba-tiba terdengar jeritan Arka dari luar. Arka
menjerit kencang sekali dan dia juga menangis. Segera aku letakkan gelas di
meja dan berlari menuju halaman.
Di halaman, aku
lihat ayahku sedang menarik tubuh pamanku sambil berteriak-teriak minta tolong,
mencoba menjauhkan tubuh pamanku dari tubuh Arka. Dan ibuku mencoba menarik
tangan kiri pamanku dari kerah baju Arka. Iya… Arka dipukuli oleh pamanku, aku
tak tahu alasannya. Aku bergegas berlari, memaki-maki pamanku dan menarik
tangan kanannya agar berhenti memukuli Arka. Saat itu kulihat muka Arka
lebam-lebam, rahangnya sepertinya bergeser, darah keluar dari bibir dan hidungnya,
sepertinya dia dipukuli berkali-kali dengan tenaga paman yang begitu
kuatnya.Ayah melepaskan pegangannya dan menggunakan kepalannya untuk memukul
rahang pamanku. Tapi dia tidak terpengaruh. Kami mencoba menarik Arka dari
tangannya, tapi tenaga kami bertiga tidak cukup melawannya. Dia mengibaskan
kami,aku dan ibu terlempar, ayah masih mencoba melepaskan Arka
Tak lama
kemudian para tetangga datang dan menarik pamanku itu agar melepaskan Arka.
Berhasil dilepaskan, tapi saat itu juga kesadaran Arka sepertinya juga sudah
lepas. Matanya tertutup dan suara lirihnya tak lagi terdengar. Arkaku… Arka
kami….
Tanpa banyak
berpikir lagi ayah dan ibuku membawa Arka ke rumah sakit. Tapi sayang semuanya
sudah terlambat, Arka sudah dijemput oleh malaikat pencabut nyawa sebelum kami
sampai di rumah sakit. Arka kami sudah meninggal, begitu kata dokter. Aku
menangis sekencang-kencangnya,kupeluk jasadnya erat-erat ibu juga melakukan hal
yang sama dan ayah mencium kening Arka yang mungkin untuk terakhir kalinya.
Pamanku? Kami
bahkan tidak tahu dia dimana. Kesedihan kami akan kepergian Arka membuat kami
tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang ada dipikiran kami cuma Arka, Arka dan
Arka. Satu jam kemudian, salah seorang tetangga kami memberikan kabar bahwa
mereka telah melaporkan pamanku ke kantor polisi. Namun sayang ketika pamanku
akan dibawa ke kantor polisi dia melarikan diri, tenaganya memang kuat apalagi
hanya untuk melarikan diri.
Besok paginya
jasad Arka dimakamkan. Rumah kami ramai oleh pelayat dan juga polisi yang
melakukan penyidikan. Tahun demi tahun berlalu, pamanku tak kunjung ditemukan.
Mungkin dia hilang dari peradaban. Benar-benar pintar sekali dia melarikan
diri, pembunuh yang melarikan diri. Aku benar-benar membenci dia.
Sekarang aku
dua puluh tahun, merantau di kota orang. Di kota metropolitan yang penuh hingar
bingar ini. Dan saat ini dia, pembunuh itu ada didepanku. Tatapannya semakin
bengis, lebih bengis dan lebih menyeramkan dari dua belas tahun yang lalu. Dan
dia menatapku kemudian pergi begitu saja. Dan aku hanya terpaku oleh kebencian
dan ketakutanku, tubuhku menjadi kaku dan aku tak bergerak sedikitpun. Tiba-tiba
kakiku terasa lemah dan aku terjatuh ke tanah. Satu hal yang terus aku
ulang-ulang dipikiranku saat ini adalahaku akan membunuh orang itu... Aku akan
membunuh pembunuh sialan itu… Aku akan membunuh manusia biadab itu…